Term of Reference COMICOS 2018
FISIP Universitas Atma Jaya Yogyakarta
“INOVASI, KOMUNIKASI, KOLABORASI: Strategi dan Kajian Membangun Masyarakat Kreatif di Era Digital”
LATAR BELAKANG
INOVASI, KOMUNIKASI, KOLABORASI:
Strategi dan Kajian Membangun Masyarakat Kreatif di Era Digital
Universitas Atma Jaya Yogyakarta (UAJY), dalam menghadapi tahun ke-53 keberadaannya, terus berupaya untuk mengembangkan diri sebagai institusi yang berperan sebagai komunitas berpengetahuan. Hal ini berarti institusi menjalankan produksi pengetahuan yang berkontribusi mendorong kreasi, difusi, dan penggunaan ilmu pengetahuan di tingkat yang lebih luas (Carayannis et al., 2012), terutama dalam menghadapi ekonomi baru yang berbasis pengetahuan dan inovasi. Salah satu aspek penting peran universitas dalam hal ini adalah posisinya sebagai penghasil pengetahuan serta fungsinya sebagai pengelola inovasi.
Hal yang perlu ditekankan adalah peran pengelola ini juga berbasis pada inovasi yang bersifat inklusif. Inovasi bukan sekadar temuan ilmu pengetahuan, teknologi, maupun produk komersial baru, namun inovasi juga bisa memberi dampak sosial dan melibatkan partisipasi masyarakat secara luas. Oleh karena itu, universitas juga perlu menjadi pengelola jaringan kolaborasi antaraktor sosial guna memastikan inovasi bersifat dan berdampak inklusif.
Pangestu (2015) berpendapat bahwa Indonesia, di abad ke-21, menghadapi “normalitas baru” (new normal) kondisi ekonomi yang berubah. Normalitas baru ini ditandai oleh sistem ekonomi global yang sudah semakin terintegrasi dengan kegiatan ekonomi nasional dan lokal. Integrasi ini terutama didukung oleh inovasi dan efisiensi teknologi informasi, komunikasi, dan transportasi, yang memungkinkan terbentuknya jaringan distribusi dan global value chain serta offshoring atau outsourcing pekerjaan. Oleh karena itu, perkembangan dan kegiatan ekonomi tidak lagi murni berbasis kemampuan manufaktur atau produksi saja, namun sudah bergerak menuju inovasi metode produksi, inovasi nilai tambah produk, serta inovasi jaringan distribusi. Berbagai hal inilah yang menandai ekonomi baru yang berbasis inovasi dan kreativitas.
Beragam perkembangan abad ke-21 yang ditandai oleh perkembangan pesat teknologi dan ekonomi baru ternyata belum dapat menjawab berbagai masalah sosial- ekonomi yang tetap ada di masyarakat. Pertumbuhan ekonomi global di abad ke-21 masih ditandai oleh angka kemiskinan yang belum menurun secara signifikan di negara-negara berkembang (Chattaway, Hanlin, & Kaplinsky, 2014). Ini menandakan bahwa pertumbuhan ekonomi belum bersifat merata (Stiglitz, 2012) di mana dampak pertumbuhan ekonomi belum secara pasti atau sepenuhnya memberi dampak perbaikan kondisi ekonomi pada masyarakat berpenghasilan rendah atau pada mereka yang tidak mempunyai akses pada kegiatan dan sumber ekonomi. Di samping itu, perkembangan teknologi digital yang diharapkan menjadi dasar utama masyarakat jaringan dan ekonomi baru/kreatif (Castells, 2004), ternyata masih ditandai oleh ketimpangan dalam bentuk digital divide. Secara global dan nasional, digital divide ini ditandai oleh ketimpangan akses maupun kualitas layanan (bandwith) antara wilayah-wilayah yang maju dan daerah-daerah yang masih berkembang maupun terbelakang (Guillen & Suarez, 2005; Hilbert, 2016).
Menurut Chattaway, Hanlin, dan Kaplinsky (2014), salah satu penyebab inovasi teknologi dan bisnis dalam ekonomi baru belum tentu selalu menghasilkan perbaikan bagi berbagai masalah sosial-ekonomi ini adalah karena model umum dari proses inovasi itu bersifat padat modal yang memerlukan investasi pada infrastruktur penelitian dan pengembangan. Industri dan akademia juga menuntut tenaga kerja dengan skill dan pendidikan tinggi yang cenderung berasal dari golongan elite masyarakat. Biaya ekonomi yang tinggi dari proses inovasi ini menyebabkan inovasi industri dan bisnis cenderung menghasilkan produk untuk pangsa pasar potensial, yaitu kelas menengah dan atas (Heeks, Foster, & Nugroho 2014), sehingga kelompok masyarakat yang berada pada lapisan bawah piramida sosial-ekonomi (bottom of the pyramid – BoP) sering kali tidak tercakup sebagai penerima inovasi. Bahkan, inovasi teknologi dan ekonomi masih cenderung bersifat merugikan bagi masyarakat BoP, baik secara ekologis (polusi) maupun secara sosial- ekonomis (eksploitasi, ketimpangan sosial).
Oleh karena itu, pemikiran mengenai inovasi yang bersifat inklusif secara sosial- ekonomi sangat diperlukan. Inovasi yang bersifat inklusif (inclusive innovation) berarti inovasi yang melibatkan dan memberikan kesempatan perbaikan ekonomi dan sosial pada bagian masyarakat yang termarginalisasi (George, McGahan, & Prabhu, 2012; Heeks, Foster, & Nugroho, 2014). Salah satu cikal bakal dari inovasi inklusif adalah ide teknologi tepat- guna (appropriate technology) dari Schumacher (1973). Ide ini menganjurkan inovasi teknologi yang berpusat pada pengguna lokal dan skala kecil. Sifat dasar dari ide inovasi inklusif ini adalah inovasi yang berdampak dan melibatkan peran serta masyarakat lapisan bawah (BoP) dengan berbagai jenjang tingkat partisipasi.
Ide inovasi inklusif ini berimplikasi pada proses inovasi yang memerlukan kolaborasi antara sektor penggerak inovasi mainstream (misalnya pemerintah, bisnis, dan akademia) dan sektor lain, seperti masyarakat sipil (Lembaga Swadaya Masyarakat/LSM), serta jaringan dan kelompok komunitas. Kolaborasi ini memerlukan berbagai inovasi dalam bidang komunikasi. Hal ini bisa dilihat melalui pemerataan akses terhadap informasi, teknologi media, serta kerja sama antara praktisi media dan komunitas. Kondisi inilah yang memungkinkan partisipasi masyarakat untuk turut serta mengolah sumber dan memproduksi informasi, sehingga dampak inovasi bisa meluas.
Selain itu, sifat global ekonomi baru membuka kenyataan bahwa kolaborasi untuk inovasi inklusif tidak saja melibatkan aktor nasional dan lokal, namun juga melibatkan aktor lintas-negara dan transnasional, seperti lembaga donor, LSM internasional, dan perusahaan multinasional. Kolaborasi trans-nasional ini menjadi salah satu langkah lebih ke depan dari model Quintuple Helix (Carayannis et al., 2012), mengingat bahwa berbagai masalah sosial- ekonomi-ekologi (seperti kemiskinan, ketimpangan sosial, perubahan iklim) juga bersifat global.
Oleh karena itu, COMICOS 2018 yang mengusung tema “Inovasi, Komunikasi, Kolaborasi” ini bertujuan untuk memberi ruang pembahasan mengenai praktik dan kajian inovasi yang melibatkan kolaborasi dan komunikasi inklusif antarsektor dan lapisan masyarakat dalam rangka membangun ekonomi dan masyarakat kreatif. Diskusi ini bertujuan untuk menghadirkan pandangan baik dari pihak akademia, pelaku media, LSM lokal dan internasional, serta berbagai pelaku inovasi kolaboratif dan inklusif dari berbagai komunitas.
Referensi:
Carayannis, E.G., Barth, T., & Campbell, F. (2012). “The Quintuple Helix innovation model: global warming as a challenge and driver for innovation.” Journal of Innovation and Entrepreneurship 1(2). <https://doi.org/10.1186/2192-5372-1-2>
Castells, M. (2004). “Informationalism, networks, and the network society: A theoretical blueprint.” Dalam M. Castells (ed.), The network society. Hal. 3-45. Cheltenham: Edward Elgar.
Chattaway, J., Hanlin, R., & Kaplinsky, R. (2014). “Inclusive innovation: an architecture for policy development.” Innovation and Development 4(1): 33–54.
George, G., McGahan, A., & Prabhu, J. (2012). “Innovation for inclusive growth: Towards a theoretical framework and a research agenda.” Journal of Management Studies 49(4): 661-683.
Guillen, M. F., & Suárez, S. L. (2005). “Explaining the global digital divide: Economic, political and sociological drivers of cross-national internet use”. Social Forces 84(2): 681–708.
Heeks, R., Foster, C., & Nugroho, Y. (2014). “Introduction: New models of inclusive innovation for development.” Innovation and Development 4(2):175-185.
Hilbert, M. (2016). “The bad news is that the digital access divide is here to stay: Domestically installed bandwidths among 172 countries for 1986–2014.” Telecommunications Policy 40(6):567-581.
Pangestu, M. E. (2015). “The new economy and development: An Indonesian perspective.” Harold Mitchell Development Policy Lecture. Canberra: Australian National University.
Schumacher, E.F. (1973). Small is beautiful. New York: Harper and Row.
Stiglitz, J. (2012). The price of inequality. New York: WW Norton.
TEMA SEMINAR
“INOVASI, KOMUNIKASI, KOLABORASI: Strategi dan Kajian Membangun Masyarakat Kreatif di Era Digital”
RUANG LINGKUP
- Media digital dan jurnalisme kolaboratif
- Kolaborasi privat dan komunitas dalam CSR
- Media sosial dan inovasi industri kreatif
- Inovasi pemasaran di media sosial
- Literasi informasi berbasis komunitas
- Inovasi bisnis sosial berbasis masyarakat
- Inovasi dan kebijakan publik
- Kewirausahaan kolaboratif
- Kajian sosial terhadap dampak inovasi
- Inovasi community development
TUJUAN
- Mendiskusikan isu terkait inovasi yang memiliki aspek manfaat dan dampak keadilan sosial yang lebih luas serta melibatkan berbagai pelaku sosial yang beragam.
- Mendiskusikan isu terkait kolaborasi antarpelaku sosial yang beragam dalam menciptakan strategi dan kajian sosial terhadap inovasi.
- Membuka ruang dialog antara praktisi dan akademisi transdisipliner untuk membangun peran inovasi dan kolaborasi dalam masyarakat kreatif kontemporer.
PELAKSANAAN
- Kamis dan Jumat, 29 – 30 November 2018
- Pukul 09.00 – 16.00 WIB
- Auditorium Kampus 4
- Universitas Atma Jaya Yogyakarta
- Jl. Babarsari No 4. Yogyakarta
TARGET PESERTA
- Mahasiswa
- Dosen dan akademisi
- Praktisi industri
- Umum
FORMAT ABSTRAK
Pengiriman abstrak dengan mencantumkan
- Judul paper
- Nama penulis, pekerjaan/ jabatan, institusi
- Nomor telepon
- Alamat email
- Abstrak (100-200 kata)
CRITERIA FOR REVIEW
Kriteria yang digunakan untuk melakukan review abstrak dan full paper adalah sebagai berikut:
Abstrak
- Topik relevan dengan tema konferensi
- Keaslian dan kebaruan tema
- Hasil riset baik studi pustaka maupun studi lapangan
- Kejelasan metodologi penelitian
- Memiliki kontribusi bagi pengembangan ilmu pengetahuan, riset, dan praktik
Full papers
- Kriteria utama seperti dalam kriteria abstrak
- Kejelasan tinjauan pustaka
- Kualitas penulisan yang baik (PUEBI)
FORMAT PAPER
Bagi peserta yang dinyatakan lolos abstrak, selanjutnya bisa mengirimkan full paper dan mempresentasikannya dalam konferensi yang berlangsung. Adapun ketentuan full paper sebagai berikut:
- Paper merupakan tulisan sendiri dan tidak merupakan hasil plagiat serta memiliki kebaruan serta belum pernah dipublikasikan sebelumnya.
- Ditulis dalam Bahasa Indonesia, format RTF atau Ms. Word. Font Times New Roman, 12 pts, double spasi, margin 2.5 cm dengan halaman di sisi kanan bawah.
- Panjang tulisan 5.000 sd 8.000 kata
- Full paper dikirimkan ke alamat email comicosuajy@gmail.com
- Batas akhir pengiriman full paper tanggal 30 September 2018.
- Paper tersebut akan dimuat dalam proceeding COMICOS 2018. Bagi presenter yang mengirimkan paper setelah batas waktu tidak akan dimuat dalam proceeding.
- Struktur fullpaper meliputi
- Judul, nama penulis (disertai alamat institusi dan alamat email)
- Abstrak (disertai kata kunci 3-5 kata) dalam bahasa Indonesia dan bahasa Inggris
- Pendahuluan: Berisi latar belakang, konteks penelitian, hasil kajian pustaka, dan tujuan penelitian
- Metodologi: Berisi paparan mengenai rancangan penelitian, sumber data, teknik pengumpulan data, dan analisis data
- Bagian inti/ pembahasan: Berisi paparan hasil analisis penelitian yang terdiri dari sub judul-sub judul (sesuai kebutuhan)
- Penutup: Berisi simpulan temuan penelitian, penegasan sikap penulis, dan saran-saran
- Daftar rujukan: Memuat sumber-sumber yang dirujuk di dalam artikel yang ditulis menggunakan format penulisan menggunakan APA style
PUBLIKASI:
- Paper terbaik berkesempatan untuk dipublikasikan di Jurnal Ilmu Komunikasi (jurnal nasional terakreditasi) periode tahun 2019.
- Paper yang tidak dipublikasikan di Jurnal Ilmu Komunikasi akan dipublikasikan dalam e-proceeding.
- Segala bentuk publikasi paper berdasarkan persetujuan penulis.